SUARA CIREBON – Seorang warga Desa Kejuden, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon dikabarkan terserang penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Bahkan, warga yang terserang DBD itu akhirnya meninggal dunia usai menjalani perawatan medis di rumah sakit.
Kematian warga yang diduga terjangkit penyakit DBD itu membuat warga desa setempat, khususnya warga perumahan Taman Pelangi yang menjadi daerah tempat tinggal warga meninggal dunia akibat DBD, merasa dihantui.
Salah satu warga Perumahan Taman Pelangi, Dedi Supriyatno membenarkan ada seseorang yang berada perumahan tersebut meninggal dunia akibat DBD. Menurutnya, warga yang meninggal dunia tersebut masih satu blok dengan dirinya.
“Ya, disini memang ada yang meninggal dunia karena DBD,” kata Dedi.
Menurut Dedi, kasus meninggalnya warga akibat DBD sudah dilaporkan ke Pemerintah Desa (Pemdes) setempat dan mendapat respon yang baik.
Karena itu, ia ingin agar Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cirebon segera melakukan pemberantasan nyamuk aedes aegypti yang menjadi penyebab penyakit DBD.
Secara tegas, ia meminta Dinkes Kabupaten Cirebon melakukan fogging agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
“Kami hanya ingin segera dilakukan fogging, setidaknya bisa mengurangi penyakit DBD. Jangan sampai ada korban berikutnya yang terkena DBD,” kata Dedi.
Sementara, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Cirebon, Nurpatmawati melalui Ketua Tim Kerja P2PM, Subhan, mengatakan, pihaknya memang sudah menerima laporan perihal kematian warga Desa Kejuden tersebut.
Namun berdasarkan laporan yang ia terima dari Puskesmas setempat, warga tersebut meninggal dunia bukan karena DBD, meskipun mulanya sempat terdiagnosa terjangkit DBD.
Ia menjelaskan, warga tersebut sempat dinyatakan sembuh dari DBD dan diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Beberapa hari kemudian, yang bersangkutan kembali masuk ke rumah sakit, namun bukan karena DBD.
“Kemudian sekitar tiga hari, masuk lagi ke rumah sakit karena (serangan, red) jantung. Jadi dia meninggal dunia bukan karena DBD, tapi karena jantung,” paparnya, Kamis, 13 Juni 2024.
Terkait permintaan fogging dari masyarakat setempat, ia mengungkapkan harus menunggu penyelidikan epidemiologi (PE) terlebih dahulu.
Karena, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi ketika sebuah daerah bisa dilakukan fogging. Kriteria sebuah wilayah yang bisa dilakukan fogging ketika ada penyebaran kasus DBD, maka harus dibuktikan dengan hasil laboratorium dan KDRS (kewaspadaan dini rumah sakit) yang dilaporkan ke Dinkes.
“Jadi yang conform itu benar-benar diagnosa DBD. Apabila ada kasus (DBD, red) disertai dengan penyebaran, misalnya di Desa A RT1 RW 2 ada beberapa kasus dengan radius sekira 100 meter, kemudian jarak yang sakit satu dengan lainya dua minggu itu bisa dikatakan ada penyebaran, itu masuk kriteria. Kalau tidak masuk kriteria itu ya tidak difogging,” kata Subhan.
Ia menjelaskan, ada tidaknya nyamuk penyebab DBD itu dibuktikan salah satunya dengan beberapa warga yang terjangkit. Kalau dalam satu wilayah hanya satu orang yang sakit diduga DBD, maka yang bersangkutan tidak bisa dipastikan terjangkit DBD.
“Karena setiap orang kan mobilisasinya tinggi, sehingga tidak diketahui digigitnya dimana,” paparnya.
Selain itu, pelaksanaan fogging juga ada pedoman yang harus dipatuhi terkait takaran campuran antara solar dengan insektisidanya. Kemudian penggunaan insektisidanya juga harus sesuai petunjuk teknis.
“Karena namanya juga insektisida pasti ada efek negatifnya,” terangnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.