SUARA CIREBON – Kasus guru honorer Supriyani yang ditahan dengan tuduhan menganiaya siswanya di SDN Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai respon keras PGRI.
PGRI Sultra angkat bicara dan mengungkapkan berbagai kejanggalan dalam tuduhan penganiayaan Supriyani terhadap siswa kelas 1 yang kebetulan anak anggota polisi setempat.
Abdul Halim Momo, Ketua PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), mengungkapkan berbagai kejanggalam dalam kasus yang menjerat guru honorer Supriyani.
“Hasil pemeriksaan yang kami lakukan, terdapat banyak kejanggalan dari mulai tuduhan hingga penanganan penyidikan di kepolisian,” tutur Abdul Halim Momo.
Momo mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam kasus guru honorer Supriyaniyang diposting melalui video di akun X @dhemit_is_back.
Kejanggalan dalam kasus guru honorer Supriyani berawal dari saksi yang digunakan untuk memperkuat tuduhan penganiayaan.
“Saya tidak mengerti hukum, namun ada dua saksi anak yang digunakan (dalam perkara ini), merupakan anak dari tetangga korban,dimana orang tuanya bekerja pada pihak yang mengadukan,” tutur Momo.
Diungkapkan juga, bahwa sebelum naik ke penyidikan polisi, kasus ini sebenarnya pernah dimediasi oleh Supriyani bersama Kepala Desa Wonua Raya, dengan langsung mendatangi rumah pelapor, atau orang tua siswa yang merupakan anggota polisi.
Ada dua permintaan orang tua siswa yang merupakan anggota polisi dalam mediasi bersama Kades Wonua Raya tersebut. Pertama, ada permintaan uang sebesar Rp.50 juta agar kasus ini selesai.
Permintaan kedua, Supriyani diminta berhenti bekerja dengan cara mengundurkan diri dari SDN Baito 4,Wonua Raya, Konawe Selatan, Sultra.
Mneurut Momo, permintaan Rp.50 juta disebutnya sebagai pemerasan. Selain itu, juga kriminalisasi terhadap Supriyani.
“Ini ada apa.Ini kriminalisasi. Dia harus mundur, padahal tidak melakukan apa-apa,” tambah Momo dalam video yang juga sempat viral.
Kejanggalan lain juga disebutkan oleh Momo. Bahwa tidak ada siswa lain di SDN Baito yang mengaku menyaksikan penganiayaan oleh Supriyani dan dimana dilakukannya.
“Dari hasil visum, yang terlihat merah-merah itu karena benturan benda tajam,” tutur Momo.
Diungkap pula ada pengakuan kalau si siswa anak polisi itu terluka karena jatuh di sawah.
Momo juga menjelaskan soal adanya telefon dari pihak penyidik yang meminta Supriyani datang ke Polsek Baito dan mengakui kesalahannya.
Pengakuan ini yang dijadikan dasar penyidik menetapkan tersangka dan menahan Supriyani pada 15 Oktober 2024 lalu.
Supriyani sendiri kini sudah dalam proses persidangan. Setelah bertatus tersangka di kepolisian, ia berubah menjadi status terdakwa di persidangan di PNKonawe Selatan di Andoloo.
Jadwal sidang dengan status terdakwa Supriyani dijadwalkan pada Kamis 24 Oktober 2024. Kekinian, dengan tetap menyandang status terdakwa, ia telah ditangguhkan penahanannya oleh Kejari Konawe Selatan.
Supriyani, sejak Selasa 22 Oktober 2024, sudah menghirup udara bebas. Ia tidak lagi ditahan di Lapas Kendari setelah kasusnya diambil alih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana.
“Perkara dengan terdakwa Supriyani telah diambil alih langsung oleh kami,” tutur Asep Nana Mulyana.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.