SUARA CIREBON – Kue keranjang, atau dikenal juga sebagai nian gao dalam bahasa Mandarin, merupakan salah satu elemen penting dalam perayaan Imlek.
Kue tradisional ini memiliki sejarah panjang yang tidak hanya terkait dengan kuliner, tetapi juga penuh dengan makna filosofis dan budaya.
Kue keranjang menjadi simbol harapan, keberuntungan, dan keharmonisan keluarga di tahun baru.
Kue keranjang sudah ada sejak lebih dari 1.000 tahun yang lalu, dengan akar sejarahnya berasal dari Dinasti Zhou (sekitar 1045–256 SM).
Awalnya, kue ini digunakan sebagai persembahan kepada dewa-dewa dan leluhur.
Kata nian gao secara harfiah berarti “kue tahun,” namun secara fonetik juga dapat diartikan sebagai “tahun yang meningkat” (年高).
Makna ini melambangkan harapan agar hidup menjadi lebih baik di tahun yang akan datang.
Bahan dasar kue keranjang adalah tepung ketan dan gula, yang menciptakan tekstur kenyal dan rasa manis. Bentuknya yang bulat melambangkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.
Dalam tradisi Tionghoa, kue ini sering disusun bertingkat untuk melambangkan peningkatan rezeki, kemakmuran, dan keberuntungan.
Salah satu legenda yang terkenal tentang kue keranjang adalah kisah Nian, makhluk mitos yang konon muncul setiap akhir tahun untuk meneror desa-desa.
Penduduk percaya bahwa Nian takut pada suara keras, warna merah, dan makanan manis seperti nian gao.
Oleh karena itu, mereka mulai membuat kue ini sebagai persembahan dan meletakkannya di depan rumah untuk menghindari gangguan Nian.
Tradisi ini menjadi cikal bakal budaya perayaan Imlek.
Pada masa perayaan Imlek, kue keranjang biasanya dibuat secara tradisional oleh keluarga-keluarga Tionghoa.
Proses pembuatannya memakan waktu cukup lama, mulai dari mencampur bahan hingga mengukus selama berjam-jam. Ini mencerminkan nilai kesabaran dan dedikasi.
Kue keranjang sering disajikan dalam berbagai bentuk:
- Langsung dimakan – Biasanya setelah dibiarkan beberapa hari agar teksturnya lebih keras.
- Digoreng – Dilapisi telur dan digoreng untuk memberikan rasa yang lebih kaya.
- Dicampur dengan makanan lain – Seperti dimasak bersama ubi dan talas.
Selain sebagai hidangan, kue ini juga sering dijadikan bingkisan untuk keluarga dan tetangga sebagai simbol berbagi kebahagiaan.
Kue keranjang mencerminkan berbagai nilai budaya Tionghoa, seperti:
Keberuntungan dan Kemakmuran: Bentuk bulat melambangkan rezeki yang tak terputus.
Keharmonisan Keluarga: Proses membuat kue ini melibatkan banyak anggota keluarga, mempererat hubungan antaranggota.
Kesabaran dan Kerja Keras: Proses panjang dalam pembuatan kue ini mengajarkan nilai-nilai kehidupan.
Di era modern, kue keranjang tetap menjadi bagian penting dalam tradisi Imlek, meskipun kini lebih mudah ditemukan di toko-toko dan supermarket.
Beberapa produsen bahkan mengkreasikan rasa baru, seperti pandan, cokelat, atau durian, untuk menarik perhatian generasi muda.
Namun, esensi tradisi tetap terjaga, yaitu sebagai simbol kebahagiaan dan doa untuk tahun yang lebih baik.
Kue keranjang bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol tradisi, harapan, dan kebersamaan dalam perayaan Imlek.
Kehadirannya di setiap meja keluarga Tionghoa mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga dan orang-orang terdekat.
Dengan setiap potong kue keranjang, harapan untuk keberuntungan dan kebahagiaan di tahun baru terus mengalir.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.