SUARA CIREBON – Polresta Cirebon resmi menetapkan Ketua Koperasi Al-Azhariyah yang merupakan pemilik tambang, AK, dan Kepala Teknik Tambang atau Pengawas, AR sebagai tersangka dalam kasus longsornya tambang batu galian C di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Minggu, 1 Juni 2025.
Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni mengatakan, penetapan dua tersangka ini telah melalui serangkaian penyelidikan hingga proses penyidikan dan gelar perkara dengan melakukan pemeriksaaan delapan orang saksi terkait insiden yang menewaskan 19 orang tersebut.
Dari serangkaian penyelidikan hingga penyidikan tersebut, Polresta Cirebon akhirnya menetapkan dua orang tersangka masing-masing AK dan AR.
“AK ini merupakan ketua Koperasi Al-Azhariyah selaku pemilik tambang dan tersangka yang kedua yaitu inisial AR yang merupakan kepala teknik tambang atau pengawas,” kata Sumarni.
Selain menetapkan AK dan AR sebagai tersangka, pihaknya juga menyita beberapa barang bukti berupa tiga mobil truk, dua excavator, dan sejumlah dokumen terkait izin tambang dari DPMPTSP Jawa Barat serta dokumen yang lainnya.
Selain itu, izin operasi produksi milik Koperasi Al-Azhariyah secara resmi telah dicabut oleh pemerintah daerah.
Sumarni menyampaikan, dua orang tersangka ini telah mengetahui adanya surat larangan pelaksanaan kegiatan usaha penambangan tanpa persetujuan rencana kerja anggaran biaya (RKAB) yang ditujukan kepada pemegang izin usaha penambangan (IUP).
Selain itu, tersangka juga mengetahui adanya surat larangan dari kantor cabang Dinas ESDM 7 Cirebon dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan tanpa persetujuan RKAB per tanggal 25 Januari 2025.
Kemudian muncul kembali surat peringatan yang ditujukan kepada pemegang IUP ketua Koperasi Al-Azhariyah pada tanggal 19 Maret 2025, berupa peringatan kepada pemegang IUP untuk menghentikan kegiatan usaha pertambangan tahap operasi produksi sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, hal itu tidak diindahkan oleh tersangka AK.
Demikian juga tersangka AR, yang bersangkutan telah mengetahui adanya surat larangan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan tanpa persetujuan RKAB yang ditujukan kepada pemegang IUP.
AR juga mengetahui surat peringatan dari kantor cabang Dinas ESDM 7 Cirebon untuk menghentikan kegiatan usaha pertambangan secara khusus.
Namun tersangka AK tetap melaksanakan kegiatan pertambangan dan memerintahkan tersangka AR untuk menjalankan operasional kegiatan pertambangan.
“Tersangka AR sesuai dengan arahan tersangka AK tetap melaksanakan kegiatan operasional pertambangan dengan tidak mengindahkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3),” kata Sumarni.
Akibat dari pelaksanaan kegiatan pertambangan tersebut, menyebabkan terjadinya longsor hingga menimbulkan korban jiwa. Peristiwa longsor sendiri terjadi pada Jumat, 30 Mei 2025, sekitar pukul 10.00 WIB, ketika kegiatan penambangan batuan jenis limestone dan trass sedang berlangsung.
Material tebing runtuh dan menimbun sejumlah alat berat serta kendaraan operasional. Tragedi ini menyebabkan korban jiwa yang ditemukan sebanyak 19 orang serta beberapa 7 orang mengalami luka-luka.
Kapolresta Cirebon menegaskan, penegakan hukum ini bertujuan memberikan efek jera terhadap pelanggaran regulasi tambang dan keselamatan kerja.
“Kami tidak akan kompromi terhadap siapapun yang abai terhadap keselamatan kerja dan merugikan masyarakat,” tegasnya.
Untuk menjamin keselamatan proses evakuasi, tim Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM diturunkan ke lokasi dan akan siaga selama 24 jam untuk memastikan area bebas dari risiko longsor lanjutan.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirto Yuliono menyampaikan, izin pertambangan Al-Azhariyah telah kedaluwarsa sejak November 2020. Sejak 2023 hingga 2024 kemarin, tidak lagi memiliki dokumen RKAB.
Dinas ESDM telah mengirimkan surat peringatan terakhir pada 19 Maret 2025, agar operasional dihentikan. Namun, kegiatan tetap dilanjutkan hingga terjadi musibah.
Kedua tersangka dijerat dengan sejumlah pasal berat, antara lain:
1. Pasal 98 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000, dan paling banyak Rp 15.000.000.000 dan atau
2. Pasal 99 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000, dan paling banyak Rp 9.000.000.000, dan atau
3. Pasal 35 ayat 3 Jo pasal 186 UU RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dengan ancaman pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun.
4. Pengurus atau pengusaha yang tidak menyediakan/memberikan alat pelindung diri yang diwajibkan kepada tenaga kerjanya dan atau pemberi kerja yang tidak memberikan perlindungan keselamatan kepada tenaga kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 Jo pasal 14 pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja ancaman hukuman kurungan selama-lamanya 3 (Tiga) dulan dan denda setinggi-tingginya Rp 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah).
5. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya) menyebabkan orang lain mati sebagaimana dimaksud dalam pasal 359 KUHP diancam dengan hukuman 5 (Lima) Tahun penjara Jo Pasal 55 Jo 56.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.