Babeh Nurdin atau Guru Besar itulah yang biasa penulis sapa, telah meninggalkan kita, namun, karya-karya tulisnya baik lewat koran, media online maupun buku insyaallah akan tetap hidup dan diharapkan bisa dijadikan literasi generasi yang peduli budaya sendiri. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LSBC) itu meninggal dunia pada Rabu (30/09/2020) pukul 23.35 WIB di RS Putra Bahagia, Kota Cirebon, karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Dikebumikan pada keesokan harinya, Kamis (01/09/2020) siang di sebuah areal pemakaman Harjamukti Kota Cirebon.
Almarhum meninggalkan seorang istri, Sri Amanah yang lebih akrab dipanggil Mbak Sri, sementara nama udaranya saat masih menjadi penyiar di Radio Sindangkasih Cirebon yakni Denok Saraswati atau Bi Kunyil. Dari pernikahannya dengan Mbak Sri ini, Babeh Nurdin yang punya nama udara saat masih menjadi penyiar di radio swasta, Nurdin Cellebater, dikaruniai dua anak, masing-masing Rendra Manfalutfi dan Desi Persia.
“Pak Nurdin itu menurut saya adalah sosok yang lengkap. Bisa jadi guru, bapak sekaligus sahabat. Sewaktu masih bekerja sebagai redaktur dan redaktur pelaksana di mingguan Pikiran Rakyat Edisi Cirebon yang kemudian berubah nama menjadi Mitra Dialog dan sekarang berganti dengan HU Kabar Cirebon, dia sangat dekat dengan kita, sehingga tidak ada sekat antara bawahan dan atasan,” tutur Taufik Fathoni, mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Grage Pos yang pernah menjadi wartawan PR Edisi Cirebon.
Menurut Opik, panggilan akrab pria tersebut, sosok Nurdin memang figure yang susah dicari saat ini, selain seperti yang disebutkan di atas, dia juga sparing partner diskusi yang cerdas dan mencerdaskan, tempat curhat dan teman guyonan (bergurau). “Pokoknya sosok dengan kepribadian yang lengkap, dan tidak pelit berbagi ilmu serta pengalaman,” imbuh Opik.
Hal senada juga disampaikan oleh pendidik dan budayawan Oji Madroji dari Gebang, Kabupaten Cirebon, budayawan Indramayu Supali Kasim, Saptaguna dan Sulistijo serta akademisi Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang (Unsika), Drs. H. Husein Fauzan, M.M.
Menurut Husein, Babeh Nurdin adalah sosok yang memiliki kemampuan yang tidak biasa, karena otodidaknya yang kuat, dia memiliki kecerdasan yang bagus. Selain itu, kepeduliannya terhadap budaya lokal itu luar biasa, baik yang disuarakan secara lisan dalam seminar-seminar dan acara lainnya, maupun yang dia tulis lewat majalah, koran, juga media online. Bahkan, Husein mengaku sering bertanya langsung tentang bahasa Cirebon kepada almarhum.
“Yang perlu dicatat adalah, Pak Nurdin itu sosok yang cerdas dan sederhana. Dia bukan sarjana, tetapi pemikiran-pemikirannya melebihi sarjana,” ungkap Husein singkat.
Menurut keluarga almarhum, Anwar Efendi yang juga redaktur senior di HU Pikiran Rakyat, Nurdin lahir di daerah Gegesik, lumbung padi di wilayah Kabupaten Cirebon pada tanggal 8 Maret 1954, dibesarkan di daerah tersebut hingga pernah Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) milik Pemda Kabupaten Cirebon, saat itu masih di Panguragan Kabupaten Cirebon. Selanjutnya ikut orang tua yang PNS ke Kota Cirebon.
Babeh Nurdin pernah lama berkecimpung sebagai penyiar di radio swasta, suka membuat karya berupa puisi, cerpen dan lainnya, bahkan main teater. Segudang prestasi di bidang seni dan jurnalistik juga telah diraihnya. Mengawali karirnya di dunia jurnalistik berawal dari penulis lepas yang karya-karyanya dikirim ke berbagai media koran dan majalah baik yang ada di daerah maupun ibu kota pada zamannya. Selanjutnya menjadi jurnalis di Grup HU Pikiran Rakyat Bandung hingga pensiun.
Murid Nurdin M Noer, Akim Garis yang akrab disapa Mama Ilik menyampaikan, Babeh Nurdin tidak hanya mengajari dirinya ilmu jurnalistik, namun mengajari juga berbagai disiplin ilmu lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan membaca berbagai buku dan kliping koran serta majalah di rumah kontrakannya yang sekaligus perpustakaan pribadi, di Gang Pati Rudamada, Cangkring, Kejaksan Kota Cirebon, saat itu tahun 1987.
“Babeh Nurdin, selain guru juga saya anggap sebagai orang tua. Pertama kali dipertemukan dengan beliau di Lembaga Pendidikan Wawasan Nusantara di Jalan Tuparev Cirebon sewaktu saya kursus jurnalistik selama 6 bulan, dan beliau saat itu sebagai Dosen Retorika,” kata mantan Pemred HU Suara Cirebon itu.
Setelah lulus dari kursus, Akim dan sejumlah temannya diajak magang di mingguan PR Edisi Cirebon Grup Pikiran Rakyat, saat itu almarhum sebagai redaktur dan terakhir Redpel. “Yang akhirnya saya juga menjadi wartawan di lingkungan HU Pikiran Rakyat Bandung,” kata Akim.
Almarhum sosok jurnalis, seniman budayawan yang besar melalui otodidak dan digembleng di HU Pikiran Rakyat. Pria kebapakan ini dikenal cerdas, lugas, idealis dan kritis. Ketika pindah rumah, yang repot bukannya mengurusi barang-barang tetapi justru buku yang sangat banyak.
“Nah ketika jatuh sakit buku-buku itu seringkali dihibahkan kepada sahabat dan mantan anak buah serta mahasiswa yang pernah mendapatkan bimbingan dari beliau. Saya sedikit tahu itu karena sewaktu-waktu berkunjung ke rumahnya di Perumnas Cirebon, sebelum beliau pergi untuk selamanya. Selamat Jalan Guru Besarku, semoga husnul khotimah,” tuturnya, seraya menitikkan air mata. (Malik/SC)