Padahal, perundingan antara pedagang dengan PT Dumib selaku pihak pengembang dan Pemerintah Desa Jungjang merupakan hasil rekomendasi yang dikeluarkan Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, saat audiensi, beberapa waktu sebelumnya.
Sebagai bentuk kekecewaan atas komitmen yang tidak dipenuhi pihak pengembang dan Pemerintah Desa Jungjang atas pembangunan ilegal pasar darurat, sejumlah pedagang menumpahkan tumpukan sayur busuk dalam unjuk rasa tersebut. Pasalnya, sejak dibangun pasar darurat yang menurut pedagang menyalahi perizinan, membuat akses masuk ke pasar terhambat.
Hal itu dikemukakan perwakilan pedagang Pasar Jungjang Radi saat berorasi dalam unjuk rasa tersebut.
“Sayur ini merupakan dampak yang paling dirasa pedagang. Karena akses menuju pasar utama kan terhambat, sehingga para pedagang sayur di pasar utama akhirnya rugi dan inilah buktinya,” katanya.
Menurut Radi, aksi para pedagang bukan dimaksud untuk menentang revitalisasi Pasar Jungjang. Yang dipersoalkan para pedagang adalah harga kios, los dan klemprakan yang ditawarkan pihak PT Dumib selaku pengembang di luar batas kewajaran.
“Kita (pedagang, red) ingin harga yang wajar, karena harga kios dengan luas yang sama di pasar Cirebon Timur tidak setinggi itu. Kami ingin ada standardisasi harga,” ujarnya.
Secara tegas Radi mengatakan, pembangunan Pasar Jungjang tidak sesuai prosedur, karena belum mencapai kesepakatan mulai dari masalah pembongkaran, pembangunan pasar dan juga harga.
“Harga haruslah rasional. Masa per meternya dihargai oleh investor kepada para pedagang Rp24 juta. Dan kita justru diancam dengan akan menyerahkan lapak tersebut kepada orang lain,” teriaknya.
Radi menyebut aksi unjuk rasa itu dilakukan mengingat upaya duduk bersama tidak direspons pihak pengembang dan Pemdes Jungjang.