SUARA CIREBON – Seperti halnya orang sakit, musafir atau orang yang tengah dalam perjalanan di saat bulan puasa atau Ramadhan, juga bisa tidak diwajibkan menjalankan shaum.
Namun ada ketentuan-ketentuan yang mengatur soal hukum puasa bagi orang yang tengah dalam perjalanan atau musafir di bulan Ramadhan.
Inilah ketentuan atau hukum puasa (shaum) Ramadhan untuk para musafir. Bisa menjadi panduan bagi umat Islam yang ada jadwal bepergian jauh di bulan Ramadhan.
Asy-Syaikh as-Si’di berkata :
“Orang sakit yang terkena mudharat kerana berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa.”
Allah berfirman :
“Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Disahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi’i)
Para musafir memiliki beberapa keadaan yang masing-masingnya memiliki hukum tersendiri:
- Berpuasa atau berbuka sama saja bagi musafir itu. Ada 3 pendapat dalam
masalah ini:
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang afdhal baginya adalah berpuasa. Ini pendapat al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi’i. Ini dipilih oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Utsaimin.
Dalilnya:
“Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sehingga salah seorang diantara kami benar-benar meletakkan tangannya di atas kepalanya
kerana cuaca yang sangat panas. Tidak seorang pun di antara kami berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (Muttafaq ‘alaih)
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang afdhal baginya adalah berbuka.
Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq Rahawaih. Dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim, Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Da’imah. Dalilnya:
“Wahai Rasulullah, saya merasa diri saya memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam safar. Apakah saya terkena dosa (kerana berpuasa)?”
Rasulullah menjawab, “Berbuka adalah keringanan dari Allah. Maka dari itu, barang siapa mengambil keringanan itu, hal itu adalah baik, dan barang siapa memilih untuk tetap berpuasa, tidak ada dosa atasnya.” (HR Muslim)
c. Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang lebih utama baginya adalah mana yang paling mudah baginya antara berpuasa atau berbuka, ditinjau dari segi susah atau tidaknya untuk melakukan qadha.
Jika lebih mudah untuk berpuasa dan susah untuk melakukan qadha, yang afdhal baginya adalah berpuasa.
Jika melakukan qadha di luar Ramadhan lebih mudah baginya, yang utama adalah melakukan
qadha.
Ini adalah pendapat Mujahid, Umar Abdul Aziz, Qatadah. Ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan al-Albani. Dalilnya:
“Wahai Rasulullah, sungguh saya adalah seorang yang selalu berpuasa. Apakah saya boleh berpuasa ketika safar?”
Rasulullah menjawab,
“Silakan berpuasa jika engkau mau, dan silakan berbuka jika engkau mau.” (HR Bukhari dan Muslim)
- Berbuka lebih ringan bagi musafir.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa keadaan seperti safar, berbuka lebih utama bagi musafir.
Melakukan hal yang memberatkan diri padahal terdapat keringanan dari Allah, menunjukkan adanya sikap berpaling dari keringanan yang Allah berikan.
Dalilnya:
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil keringanan-keringananNya sebagaimana Allah tidak suka untuk dimaksiati.” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban pada kitab ash- Shahih dari keduanya)
- Berpuasa sangat memberatkan musafir itu sehingga ia tidak mampu lagi untuk menanggungnya, atau bahkan memudharatkannya.
Berpuasa dalam keadaan seperti ini haram dan wajib untuk berbuka. Ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin dan al-Albani. Dalilnya:
“Rasulullah pernah dalam safarnya melihat seseorang dikerumuni orang banyak dalam keadaan dinaungkan di bawah pohon (dari panas matahari). Lalu baginda bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Orang ini berpuasa.” Baginda bersabda, “Bukan merupakan kebaikan berpuasa dalam
safar”.” (Muttafaq ‘alaih).***