SUARA CIREBON – Jika pergi ke Semarang, Solo, Yogyakarta dan sekitarnya kita pasti akan menjumpai banyak Angkringan, penjual makanan yang menggunakan gerobak dorong.
Di atas gerobak dorong, disajikan aneka masakan dan makanan. Nasi yang dibungkus daun pisang didalamnya ada ikan teri, dan oseng tempe.
Ada juga nasi dibungkus daun pisang dalamnya ada mie, oseng tempe dan tahu, dan beragam menu lainnya.
Itulah yang disebut dengan nama sangat populer sejak tahun 90an, ialan Nasi Kucing. Anak muda sekarang meyebutnya Naskuc.
Diatas gerobak itu pula, biasanya ada tiga ceret besar. Isinya air putih, air teh dan ada juga isinya kopi atau wedang jahe.
Untuk lauk,ada berbagai jenis yang disajikan dalam bentuk sate. Ada sate telor puyuh, ada sate usus, gaji, kulit ayam dan beragam lainnya.
Makin lengkap juga ada lauk dalam bentuk gorengan seperti tempe dan tahu goreng.Pilihan lauk lain berupa tahu dan tempe bacem.
Budayawan berdarah Tionghoa, Suhu Jeremy Huang Wijaya mencoba menelusuri sejarah singkat Angkringan.
Ia berkunjung ke Yogyakarta. Melakukan wawancara dengan sejumlah pedagang Angkringan dan mencari data pustaka mengenai sejarah warung rakyat ini.
Suhu Jeremy mengungkapkan, Angkringan berasal dari Bahasa Jawa. Artinya alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas.
“Pada awalnya, Angkringan dijual secara keliling dengan cara dipikul. Namun kini sudah berbentuk gerobak dan didorong. Lebih beragam,” tutur Suhu Jeremy,Minggu 24 November 2024.
Menurut sejarahnya, Angkringan bermula dari seorang pria bernama Karso Djukut. Ia pedagang yang berasal dari Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Masih di era kolonial Belanda di tahun 1930-an, Karso berjualan makanan terikan (makanan khas Jawa Tengah dengan kuah kental).
“Pak Karso berkeliling menggunakan pikulan tumbu di Kota Solo. Cara Karso berjualan ini kemudian ditiru oleh banyak orang ketika itu,” tuturnya.
Karena menjadi sangat populer, berjualan nasi ala Karso itu lalu diikuti banyak orang dan menyebar ke Yogyakarta hingga Semarang.
Di awal-awal sejarahnya, pedagang Angkringan umumnya berasal dari Klaten sebagaimana Karso.
“Kemudian makin populer. Ternyata ditiru banyak orang. Sejak itu Angkringan menyebar dan banyak diikuti oleh warga daerah lainnya,” tutur Suhu Jeremy.
Penjual nasi angkringan pertama di Yogyakarta, diketahui bernama Pairo berasal dari Kecamatan Cawas, Klaten.
Era berganti, sejarah menemukan alur ceritanya sendiri. Hingga tahun 1980, angkringan beralih dari pikulan jadi gerobak dorong.
Dalam perkembangannya, pedagang angkringan yang aslinya seorang pedagang keliling dengan pikulan sudah hampir punah.
Kebanyakan dari mereka berjualan dengan menetap, baik di tepi jalan besar maupun perkampungan.
Biasanya di tempat-tempat strategis secara ekonomi, tempat lalu lalangnya banyak orang di sebuah tempat.
Hingga kini, warung Angkringan tidak saja di Jateng dan Yogyakarta,tetapi sudah menyebar meraa hampir di setiap kota di Pulau Jawa.
Angkringan, bahkan menjadi warung favorit, terutama bagi mahasiswa yang hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua.
“Angkringan dikenal warung rakyat, lebih murah. Makannya juga bisa disesuaikan dengan selera kantong mahasswa umumnya yang cekak,” tutur budayawan asal Kota Cirebon yang kini tinggal di Kota Bandung.
Dalam perkembangannya, peminat warung angkringan trus meluas.Ia tidak lagi menjadi warung tempat rakyat kecil membeli makanan.
Kini, para pegawai, bahkan orang-orang kaya pun, tidak sedikit memilih angkringan sebagai salah satu warung favorit.
“Sekarang tidak ada lagi gengsi atau malu makan di Angkringan. Warung merakyat ini sekarang dinikmati banyak orang dari berbagai status sosial,” tutur Suhu Jeremy.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.