Mahmudi menolak dan sangat keberatan iuran BPJS tingkat tiga dinaikkan, karena, BPJS tingkat tiga ini, kelas masyarakat tingkat bawah, sehingga tidak mesti naik.
“Iuran BPJS dalam kondisi saat ini, tingkat tiga itu masyarakat bawah, harusnya tidak usah dinaikkan. Apalagi sekarang BPJS itu banyak pemangkasan-pemangkasan kebanyakan dinonaktifkan. di Kabupaten Cirebon saja sampai 22.000 yah yang dinonaktifkan,” ujar Mahmudi saat ditemui Suara Cirebon di ruang Fraksi PKB, Jumat (8/11).
Pihaknya pun akan sangat keberatan jika memang pemerintah menaikkan iuran BPJS di tingkat tiga ini. Sebab bagi Mahmudi jika ini ditetapkan, menjadi suatu keputusan yang tidak dipublikasikan.
“Sangat menyatakan keberatan sekali dan tidak mendukung jika pemerintah menaikkan iuran BPJS di tingkat tiga ini. Saya tegas menolak,” tandasnya.
Mahmudi pun merasa ironis, jika hal-hal yang sifatnya mensejahterakan masyarakat bawah ini, seperti wacana akan dinaikkan iuran BPJS di tingkat tiga. Dikatakan Mahmudi untuk mengimbangi iuran BPJS, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon telah mendata ulang masyarakat yang terdampak data base.
Mahmudi pun menjelaskan bahwa selama ini, sudah ada pelayanan sosial kepada masyarakat. “Dinas sosial itu kan lagi mendata ulang terhadap masyarakat yang kena dampak penonaktivan, sebagai data base. Di setiap desa atau kecamatan kini sudah ada Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskes), itu kan lagi digencarkan oleh pemerintah dan sedang diverifikasi ulang,” katanya.
Diakui Mahmudi, pihaknya dengan tim Komisi IV melakukan ekspose bersama Dinas Sosial pada Kamis (7/11), pihaknya lantang membicarakan soal perekrutan dan pemangkasan BPJS.
“Saya kemarin Kamis (7/11) ekspose dengan Dinas Sosial, saya lantang mengatakan bahwa dalam perekrutan masyarakat yang kena dampak pemangkasan atau penonaktifan BPJS itu harus lebih jeli. Jangan sampai jadi ada suara lagi yang terdengar di masyarakat awam tidak dapat sasaran cara pemberian BPJS itu,” katanya.
Diakui Mahmudi, pihaknya sering mendengarkan dari masyarakat ada masyarakat awam yang tidak pernah mau tau tentang prosedur rekrutmen. Sedangkan secara di lapangan, kata Mahmudi perekrutan BPJS masih berbasis di tingkatan RT dan RW bahkan baginya perekrutan seperti itu sangat riskan.
“Saya sejak lama, batur-batur olih endog, olih duit dapat ini, dapat itu, saya tidak pernah sama sekali, dan anak saya sekolah tidak pernah sekali dapat bantuan. Keluhan ini jangan sampai terjadi, kemudian cara perekrutannya pun masih dengan cara berbasis RT dan RW ini sangat riskan dengan kedekatan keluarga,” tegasnya.
Adapun solusi yang ditawarkan Mahmudi terkait perekrutan BPJS ini, harus menggandeng atau pendampingan dari berbagai pihak akademisi seperti mahasiswa dan lainnya.
“Saya sarankan yang merekrut itu ada pendampingan dari pihak akademisi ya seperti mahasiswa-mahasiswi atau pihak akademisi lainnya. Ya walaupun di situ ada musdes terus ke kecamatan lalu ke bupati, laku ke provinsi dan ke kementerian, tapi sistem perekrutan ini harus sangat teliti,” katanya.
Sehingga menurut Mahmudi beberapa indikasi yang terkait dengan BPJS akan bisa diatasi dengan secara merata kepada masyarakat yang memang harusnya mendapatkan BPJS. Tapi, bagi Mahmudi jika sistem perekrutan tersebut tidak diubah, Mahmudi memastikan masih akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Mahmudi menyampaikan, untuk di wilayah Kabupaten Cirebon pun masih memiliki 32.000 kuota untuk masa darurat bagi masyarakat yang sakit. Jadi tetap akan bisa dilayani.
“Jadi kalau ada masyarakat yang sakit, tidak punya kartu BPJS tidak punya KIS dan lain sebagainya, masyarakat masih tetap bisa dilayani. Karena per hari ini sampai akhir Desember akhir masih ada 32.000 kuota. Jadi jangan takut kalau ada masyarakat yang tidak bisa dilayani, itu harus bisa dilayani,” tegasnya. (M Surya)