Hal itu dikemukakan Kapolresta Cirebon, Kombes Pol Arif Budiman saat menggelar konferensi pers di halaman Mapolresta Cirebon, Senin (31/1/2022).
“Selama satu bulan terakhir Satnarkoba Polresta Cirebon berhasil mengungkap 5 kasus dan mengamankan 7 tersangka,” kata Arif .
BACA JUGA: Bupati Cirebon Sampai Teteskan Air Mata, Ini Sebabnya
Menurut Arif, dari tangan tersangka pihaknya berhasil mengamankan sejumlah barang bukti obat sediaan farmasi sebanyak 21.037 butir yang terdiri dari 6.805 butir Dextro, 9.517 butir Trihexiphenidyl, 3.444 butir Tramadol, dan 1.217 butir Excimer.
Arif menyebut, para tersangka yang diamankan dalam pengungkapan kasus peredaran obat keras terbatas tersebut merupakan jaringan Aceh. Seluruh tersangka dan barang bukti telah diamankan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
“Profesi sehari-hari para tersangka yang terbukti terlibat kasus peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba juga berbeda-beda. Dari mulai pedagang, wiraswasta, dan belum atau tidak bekerja,” ujarnya.
BACA JUGA: Truk Tangki Pertamina Terperosok di Beber Cirebon
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 196 jo Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara serta denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
“Polresta Cirebon tidak akan berhenti memberantas kasus peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Kami juga mengimbau masyarakat segera melapor apabila menemukan hal-hal semacam ini di lingkungan sekitarnya,” tegasnya.
Dalam konferensi pers tersebut, pihak kepolisian juga menghadirkan apoteker dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cirebon, Dominggus. Ia sengaja dihadirkan untuk menjelaskan bahaya obat sediaan farmasi ketika diedarkan oleh bukan ahli dan kewenangannya.
BACA JUGA: Pendopo Makam Mbah Kuwu Cirebon Rusak Tertimpa Pohon Setinggi 30 Meter
Dominggus, mengatakan, obat sediaan farmasi yang sering disalahgunakan di antaranya, trihexiphinidyl, tramadol, hexcimer dan dextrometrofan. Menurutnya, obat sediaan farmasi sesuai dengan PP 51 dan UU Kesehatan No 36 tahun 2009, hanya bisa dilakukan orang yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
Ia menjelaskan, keahlian dalam obat sediaan farmasi didapat ketika seseorang telah lulus S1 Apoteker. Sedangkan kewenangan, adalah surat izin apoteker atau izin praktek yang harus dimiliki seseorang terkait obat tersebut. Selain izin praktek, kata dia, juga ada izin sarana, yakni berupa Apotek, Klinik, RS dan Puskesmas.
“Sudah jelas, ini termasuk obat keras dengan logo merah lingkaran, jadi tidak bisa dijual secara bebas kepada masyarakat baik mengedarkan maupun cara mendapatkannya,” kata Dominggus.
BACA JUGA: Sudah Masuk Hari ke-7, Tim SAR Tak Kenal Lelah Cari Korban Tenggelam di Sungai Cisanggarung
Ia menyampaikan, sebenarnya semua jenis obat yang diciptakan adalah untuk kebaikan masyarakat. Namun ketika obat sediaan farmasi disalahgunakan, yakni obat didapatkan tidak sesuai peraturan yang berlaku, maka obat tersebut bisa membahayakan. Orang yang mengonsumsinya bisa mengalami kerusakan pada otak, ginjal, hepa bahkan bisa menyebabkan kematian.
“Ketika digunakan sesuai dosis maka akan menjadi obat. Tapi ketika disalahgunakan bisa menyebabkan racun. Tidak semua orang bisa mengedarkan atau menjual obat sediaan farmasi,” paparnya.
Pemerintah, imbuh dia, sudah memberi ancaman hukuman kepada siapapun pihak yang mengedarkan obat sediaan farmasi tapi tidak mempunyai syarat mutu. Ancaman hukumanya berupa penjara selama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar. Sedangkan ancaman hukuman bagi yang tidak mempunyai izin edar adalah 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp1,5 miliar.
BACA JUGA: Rem Blong, Truk di Majalengka Tabrak Rumah Warga
“Tujuannya, dengan adanya sanksi hukum adalah agar masyarakat tidak mau mencoba-coba untuk mengedarkan sediaan farmasi secara ilegal,” tandaspnya. (Islah/Kirno)